Kembang sungsang cahya kunang
Kadia lintang gilang gumilang
Tembang hyang pangreka dalang
Dadia piwulang wong ngawayang
MERCUKUNDA, SURALAYA.—Maharaja Tribuwana Sang Hyang Otipati Pramesti Guru Jagatgirinata ya Sang Hyang Manikmaya penguasa jagat pramudita duduk di atas tahta Dampar Kencana beralas permadani sutra berenda permata dihadap para dewa pemuka triloka.
GIRINATA: Kakang Panji Kanekaputra, kenapa petaka triloka belum jua reda? Malah terambah musibah. Batara pada susah, batari pada sedih; luka hapsara parah, duka hapsari perih. Ini mesti dipandegani, Kang Narada.
NARADA: Eladalah, Adi Guru—gawat! Cuaca seram-kelam, Candradimuka timbul tenggelam, para dewa tiada tentram, Tribuwana jadi terancam itu kerna balabuta utusan Jendral Niwatakawaca ditolak melamar Supraba. Mereka tak sudi kembali ke negeri Manimantaka jika tidak memboyong sang dewi. Begitu kan, Indra?
INDRA: Benar! Supraba menampik kasih menolak cinta Niwatakawaca. Aku sendiri tak sudi bermenantu dia. Khhkcuh! Mana bisa Buta bermertua Dewa? Durhaka!
GIRINATA: O jagat dewa batara! Dasar balabuta tak kenal etika. Kurangajar benar ia. Jika tak bisa diajar, hajar! Jika tak mau mundur, gusur! Jika malah memaksa, siksa! Usir mereka dari Suralaya.
NARADA: Baik, Gusti!—Bayu! Siapkan tentara triloka. Basmi balabuta Niwatakawaca!
BAYU: Siap!
“Batara Brama, Batara Surya, Batara Wisnu, Batara Bayu, Batara Sambu, Batara Kamajaya, Batara Yamadipati, Batara Kuwera, Batara Karaba, Batara Bermana, Batara Bermani, Batara Aswan, Batara Aswin, Batara Citragada, Batara Citrasena, Batara Sambodana, Batara Rawiatmaja, Batara Bermanakanda, Hyang Dewatama, Hyang Dewanggana, Hyang Dewasana, Hyang Dewangkara, Hyang Pancadewa, Hyang Pancaweda, Hyang Patuk, Hyang Temboro,—siap gerak!”
“Siap! Siap! Siap!—”
Bala Tribuwana
Pada siapsiaga
Bala buta
Pada laga
GERBANG SELAMATANGKEP.—Balabuta siap adulaga demi memaksa para dewa menyerahkan Supraba. Tatalaga Jendral Krudaksa, Panglima Manimantaka, tampak megadigdaya. Di sisi kiri berdiri Kolonel Duskerta; di sebelah kanan, Kapten Wirakta; dan di belakang, Letnan Kalawaktra.
KRUDAKSA: Krrkzuh! Dewa-dewa! Menolak cinta Gusti Niwatakawaca berarti meminta petaka. Jika Supraba tidak diserahkan, Kahyangan Solendrabawana akan kubuat kiamat! Bahkan Suralaya akan kurusakporak, leburmumur, dan sirna-binasa. Krrkzuh!
DUSKERTA: Betul! Usah sok dewa! Buta boleh berbini bidadari. Buat perbaikan keturunan! Biar buta tengik, bini cantik; biar Buta bau, bini ayu; biar Buta, bini Supraba. Kan asik! Hehehe….
WIRAKTA: Iya! Supraba emang moy. Dasar bidadari—cantik tak tersaingi, megajelita tiada cela! Oh, Supradin, eh, Suprana, haah! Salah mulu—Supra apa?
KALAWAKTRA: Walakadalah, Gusti! Lihat! Gapura terbuka! Para dewa angkat senjata!
KRUDAKSA: Keparat! Serbu!
“Serbu! Serbu! Serbu!—”
Serbu buta
Satru dewa
Berangtendang!
Serangterjang!
“Ayo maju, Dewa!”
“Brani ame Brama?”
“Brama? O, ini jago Deksinapati: Dewa api kok kakubeku? Ayo maju! Heaah!”—(Clap!)
Serbutinju (Bugh!) sepakporak (Blak!)—“Rasain dewa—heaah!”—(Blar!) tamparmemar! “Tobaatt!”
Tatu terhitung!
Luka terbilang!
“Mana jago dewa?”
“Bayu: ayo maju!”
Adutinju seru (Jduk!) serta sepakgalak telak (Jdak!)—‘Hgkh! Hoekh ooo hfuh! Buta gila! Membokong! Aduh… ooo! Tobaat!”—(Bruk!)
“Celaka, Surya!” + “Wisnu, mundur!”
Dewa tempur
Pada mundur
NARADA: Celaka, Adi Guru! Balabuta gagahmegadigdaya mahasakti mandraguna! Para dewa tak berdaya. Gemana ini?
GIRINATA: Tenang, Kang Panji! Indra, cari jago dewata. Pergilah ke Indrakila—temui Prof Mintaraga.
Indra: Baik, Gusti!
Batara Indra
Ke Indrakila
Pada madiacerita
Ketika gara-gara
KARANG KADEMPEL.—Kampung di punggung gunung berpayung lembayung. Cuaca Cerahmerah! Kubah bukit Indrakila tampak indahmegah! Terlantun senandung kidung dari dalam gubuk ijuk. Panakawan
pada berwawancanda.
Gandasari buah ati
Pujaan urang sadaya
Buku pinuh kupapaes
Alus jadi patamanan
“Ahihi… Asmarandana Sunda! Oke jugalah. Ehm, nunggu bos lagi konsentrasi, kontemplasi, en meditasi—gini nih: aneh! Eh, kemaren digoda cewek Suralaya, ia cuek aja! Bidadari cantik tak ia lirik! Malah gua yang manatahan. Ahihi….”
“Gitu itu, Gong—prihatin: taparekacipta demi manggayuh karaharjaning praja mamayuayuning bawana.”
“Eh, Reng—ada apa?”
“Gawat! Babi di Lab!”
“Hah? Ayo kita liat!”
MINTARAGA: Ia kutembak!
PADYA: Aku, penembaknya!
SEMAR: Sudahlah, Indra!
INDRA: Hahaha… maaf, Ki Semar—saya menyamar dan menggoda Mintaraga demi Suralaya. Ia diminta menjadi jago dewata guna menumpastuntas balabuta Niwatakawaca. Gemana, Prof?
MINTARAGA: OK. Saya minta Jeng Supraba ikutserta.
INDRA: Baiklah.
Mintaraga segera
Menunaikan darma
Serang terjang
Perang kembang
RIMBAMALA.—Mintaraga aduyuda dengan bala Manimantaka.
“B-brenti! Siapa lo?”
“Gong, embat aja yo!”
“Siplah!”—(Duk! Bugh!) Ambruktakluk (Blug! Gludug!)—“Nih rasain! Hih!”—(Jplak! Gdubrak!)—“Aaawww!”
“Bah! Keparat! Kaladurga, Kaladurjana, Kaladuraksa, Kala-durmala, Kalastuwila, Kaladaksa, Kaladarba, Kalagarba, Kala-duskerta, Kaladusta, Kaladursila—majuserbu!”
“Reng, embat granat!” + “Okelah!”—(Plas!)
(BLAARR!)
Balabuta
Fanalaga
Dan tak lama
Supraba tiba
SUPRABA: Helo, Prof! Ngapain sih gue ikut? Gue takut ame Buta. Hiiyy… jijay!
MINTARAGA: Emansipasi! Ini kan sengketa cinta yang jadi konflik politik multipelik. Wanita cantik, asal cerdik, bisa men-jadi aset politik. Coba amati! Dengan dalih ditolak cinta, Niwa-takawaca hendak melabrak Suralaya. Resistensi libido menjadi agresi destrudo. Bahaya! Ia mesti ditembaktelak! Nah, biar buka rahasia, anda rayu ia—puji sampai kekihati, goda hingga lupalena, rajuk biar mabuktakluk!
SUPRABA: OK.
Bersama mereka
Ke Manimantaka
Gita asmara buta
Ala Niwatakawaca
MANIMANTAKA.—Seketika mukamurka Jendral Niwatakawaca tampak sukaria bersua dengan Supraba.
NIWATAKAWACA: Hait, Supraba! Huahahaha… akhirnya dikau datang, oh… Supraba, bidadari cantikmultisimpatik, gadis manislagiromantis, dara eloksemokmontok, perawan rupawan-nanmenawan, wanita jelitamahajuita, oh… Supraba, dilirik asik, dipandang senang, ditatap sedap, oh… Supraba, dari dulu aku rindu, sejak lama saya cinta, oh… Supraba, coba saya kurang apa? Maharaja, kayaraya, oh… Supraba, saya memang hmh! Dikau tau itu? Huahahaha….
SUPRABA: So pasti, Oom! Wow! Manimantaka indahmewah mahamegah serba raksasa! Nyesel gue gak dari dulu mau ame Oom. Huuh, papi sih, neko-neko! Maafin ya, Oom? Bener deh gue cinta ame Oom. Biar Buta, Oom raja, kaya, perkasa….
NIWATAKAWACA: Huahahaha… betul, oh… Supraba, siapa pun tak mampu mengungguliku! Aku tangguhplusampuh, saya hebatmahadahsyat, gua gagahmegadigdaya, oh… Supraba, kerna pintar merahasiakan kelemahan—
SUPRABA: Kelemahan apa?
NIWATAKAWACA: Lidah!
Rahasia terungkap
Pasopati menancap
Niwatakawaca
Sirnaperlaya
Semarang, 11 Maret 1993 Ki Harsono Siswocarito
Puja-pujiku hanya bagiNya
Pencipta semesta seisinya
Hormatku buat ki pujangga
Yang memahamuliakanNya
ASTINA.—Para Kurawa pada bicara bersama Jendral Bala-dewa, Presiden Mandura, membahas masalah petaka negara.
DURYUDANA: Dewan sidang yang mulia! Luapan samudra, musim hujan yang luarbiasa, hujanbadai, banjirbah, seolah mau menenggelamkan dunia, menjadi malabencana global. Apa hal ini juga menimpa negara Mandura?
BALADEWA: Iyo—sama! Malah beberapa daerah sudah lenyap dilahap luap samudra.
KARNA: Pun jua Propinsi Awangga! Nelayan jadi korban! Wisata bahari mati! Rusakporak di sana-sini.
DURYUDANA: Apa sebenarnya penyebab malabencana ini? Dan bagaimana cara mengatasinya?
SAKUNI: Maaf, Pak! Mungkin Prof Durna punya sumbangsih pemikiran otentik serta strategi pemecahan masalah yang jitu.
DURYUDANA: Benar, Prof Dur—silakan naik ke mimbar.
DURNA: Nah, hahaha… trims! Pakarakbar tak perlu berkoar di atas mimbar! Tut wuri handayani! Nah, hahaha… ketahuilah dewan sidang yang mulia—tak cuma Astina, Mandura, Awangga yang tertimpa malapetaka, malah sampai Bangladesh. Lebih mengerikan! Nah, secara teoritis—ada akibat, ada sebab! Semua mala hanyalah akibat dari suatu sebab. Samudra meluap, hujanbadai, banjirbah, malah gunung es di kedua kutub bumi pun mencair—itu semua kerna perbuatan manusia yang tak pernah peduli pada kelestarian lingkungnan hidup. Oknum tak bertanggungjawab!
BALADEWA: Krrk-cuah! Oknum keparat! Siapa, Prof?
DURNA: Menurut penelitian, itu semua akibat perbuatan si Antasena yang sedang bereksperimen di dasar samudra.
BALADEWA: Krrk-cuah! Laknat si Antasena!
KARNA: Apa maunya ia?
DURNA: Kerna ia Kasal Amarta, pasti punya tujuan politis. Demi kejayaan bangsa Pandawa! Ia mau menjadi penguasa samudra dan mengaku bergelar Sang Hyang Segara Rekayasa.
BALADEWA: Apa? Sang Hyang? Krrk-cuah! Edan! Si Antasena gila! Apa gelar itu ada dalam kitab, Prof?
DURNA: Ah, tiada! Semua pustaka telah dibaca. Pustaka Universitas Sokalima sampai Universitas Atasangin sudah saya teliti. Baik dalam kitab kuno model Tantu Panggelaran, Kitab Manik Maya, Kitab Paramayoga, Kitab Kanda, Kitab Sudamala, Kitab Nawaruci, Kitab Gatutkacasraya, Mahabarata, Ramayana, maupun kitab lain—tak ada gelar Sang Hyang Segara Reka-yasa. Sang Hyang gadungan! Palsu!
DURYUDANA: Jika begitu, gagalkan eksperimen si Antasena, tangkap dan adili!
SAKUNI: Jika Amarta melindungi?
DURYUDANA: Serbu!
“Setuju! Setuju! Setuju!” + “Ziplah!” + “B-beres!” + “OK!” + “Hidup Kurawa!” + “Hidup! Hidup! Hidup!…”
BALADEWA: Krrk-cuah! Tepat!
DURYUDANA: Baiklah, Jendral Baladewa—pimpinlah pasu-kan multinasional. Dan Letjen Karna harap memimpin pasukan Parakomando Astina.
BALADEWA: Siap!
KARNA: Siap!
“Pasukan Parakomando Operasi Samudra—siap gerak! Lapor: Dursasana, Dursala, Dursata, Durmuka, Durkarna, Dura-dara, Durwigata, Durmagati, Kartamarma, Kartipeya, Citragada, Citramarma, Citrakandala, Citrayuda, Citraksa, Citraksi, Aditya-ketu, Bimabahu, Dirgabahu, Dirgalacana, Dirgarama, Dreda-rata, Drepasastra, Drestahasta, Drepayuda Drepawarman,—siap bergerak!”
“Laksanakan!”
“Siap!”
Pertempuran samudra
Siapsergap Antasena
DASAR SAMUDRA.—Zona teritorial Amarta.
(BLAARR!)
“Krrk-cuah! Ranjo laknat!”
“Awas kapal slam!”
(BLAARR!)
ANTASENA: Hmh, Kurawa—jangan harap bisa mendobrak-porak hankam Amarta. Submarine Antaboga karyarekacipta Prof Dr Antaboga teramat handal. Aku Sang Hyang Segara Rekayasa lagi bereksperimentasi dalam Sea-Lab Oceanoculture demi masa depan bangsa. Siapa pun tak boleh masuk ke dalam Sea-Lab ini.
Gara-gara
Bumi gapai
Laut badai
TUMARITIS.—Dalam dukamala dunia, Panakawan pada berwawancanda.
“Excuse me, I’m Petruk Swayze. Dear Readres—how are you today? Fine? OK, so am I. Hehehe… ceritanya hujan nih: basah, bocor, becek! Ehm… Yun, Ren, Sis—ngapain? Ngeceng melulu! Kapan mejeng lagi di Matahari? Gantian! Ngampus kek, hehehe… gemana tuh Wayang Kampus ? Hura-hura aje! Bilangnya: aktivis! Ngilmiyah kek, hehehe… gak nyeni ah!”
“Omong ame siape, Truk?”
“To my fans, of course!”
“Huh, sok top! Sok pop!”
“Hehehe… emang kok! Eh, Gareng mana? Bang, si Gareng Mbeling udah dibikin belon? Cepet buru dimainin! Kan mau show—jangan cuma Bagong yang in action. Bosen!”
“Sentimen lu, Truk!”
“Harus! Nah, itu Gareng! Sini, Reng! Where’re ye from?”
“Show-biz!” + “Show off!”
“Zow, ngerti? Gak kaya lu: ngeceng melulu. Gak laku-laku!”
“Enak aje! Di sono gue observasi: meneliti perilaku budaya konsumerisme demi antisipasi bisnis masadepan. Kan asik!”
“O dasar Bagong Urban!”
“Udah! Pak Jun datang!”
ARJUNA: Kang Semar—Laksamana Antasena mesti dicari. Lama dia tak melapor ke Amarta.
SEMAR: Mari, Pak.
Arjuna dan Panakawan
Menembus jalan hutan
“E-e-babo-babo… Gog—ada p-penjelajah r-rimba Pringga-dingatala. S-siapa, Gog?
“Sst! Jendral Arjuna!”
“E-e-babo-babo… s-serbu!”—(Clap!)—“C-ciaat!”—(Dez! Zplak! Deb! Bugh!)—“Hugk-khoeekh uhuooo… m-mati a-aku, Gog!”—(Bruk!)
“Cakil mati, Lung!”
“Biarin saja, Gog!”
“Grr-babo-babo, keparat! Hadapi aku Dityakala Badai-segara! Heh, konco-konco: Pragalba, Rambut Geni, Padas Gempal, Jurangrawah, Buta Ijo, Buta Terong, Buta Endog—ayo keroyok si perwira keparat itu!”
“C’mon!” + “OK!” + “Move!”
“Satu, dua, tiga! Ciat! Ciat! Ciiaatt!”—(Blaarr!)—“Aduh! Ahk! Khk! Klk!”—(Blug! Blug! Blug!)
“Zuilah! Mampuz zemua!” + “Benal! Ayo lali, Mas!”
(Jleg!)—“Brenti!”
“Ziapa lu? O yez! Kenalin—gue Mr George! Yez, Mr Joz!”
“Busyet! Keren juga nih Buto—pake nama beken segala! Elu kalah, Reng.”
“Em… lu siape, Pelo?”
“Mistel Gabliel! Ayo pelgi ah! Usah ngulusin olang tak kaluan!”—(Bugh! Bugh!)—“Adow! Main pelmak lagi! Blantem-blantem, tapi spoltif! Ngawul’u!”
(Dor-dor!)—“Beres, Gong!”
Buta-buta mala
Pada sirnafana
Gentur tutur
Bangun catur
SEA-LAB OCEANOCULTURE.—Laksamana Antasena yang bergelar Sang Hyang Segara Rekayasa menggegerkan dunia berkat penemuan Sistem Hankam Dasar Samudra, serta Oceanomigration demi mengatasi masalah kepadatan pen-duduk masadepan dengan merekacipta Gedung Pencakar Laut. Eksperimentasi fantastik semodel itu menyebabkan pro dan kontra di seluruh penjuru dunia. Tidaklah gaib-ajaib jika Girinata, Presiden Sorgaloka, turun tangan.
GIRINATA: O Jagat Dewa Batara! Antasena—hentikan eksperimen itu! Usah mendahului karsa! Dan lepaskan gelar Sang Hyang yang kau sandang.
ANTASENA: Maaf, tidak bisa! Eksperimen bukan sekedar sok cendekia. Gelar bukan gagah-gagahan! Ini demi kehidupan.
GIRINATA: Babo-khhk-cuah! Kurang ajar! Apa kau tak takut pada pasukan multisemesta dari Jagat Triloka?
ANTASENA: Maaf, Tuan! Tidak!
GIRINATA: Keparat! Tangkap!
“Siap! Indra, Bayu, Brahma, Wisnu, Surya, Sambu, Kama-jaya, Yamadipati, Temboro, Trembuku—sergap si Antasena!”
“Siap! Siap! Siap! Siap!”
(BLAARR!)
“O Jagat Dewa Batara!” + “Mundur! Bayu Mundur!”
“Bergenzong-pada-ndoyong, si Antasena tak tertaklukkan! Benar-benar adidaya ia! Celaka! Ini urusan Ki Semar, Tuan!”
“Tuh Ki Semar datang!”
SEMAR: Ada apa, Tuan? Bakutempur sama Pak Antasena rupanya. Maaf, Maha Sang Hyang! Demi pranata alam—Sang Hyang Segara Rekayasa sebenarnya bergerak atas kuasa Sang Hyang Wenang. Nah, Pak Antasena—tugas telah sampai! Wenang mencipta, Wenang merekayasa, Wenang memelihara. Bukankah begitu, Maha Sang Hyang?
“Soal LBH—romo pakarnya!”
“LBH itu apaan sih, Truk?”
“LBH: Lakon Bangsa Hyang.”
SANG HYANG WENANG: Ki Semar benar! Manggayuh karahar-janing praja, memayu-hayuning bawana.
Petik bunga guna
Intisari merdeka
Semarang, 28 Mei 1991 Ki Harsono Siswocarito