Sunday, December 23, 2007

Balada Utopia Dr Sucitra



Dene utamaning nata
Berbudi bawa laksana
Dene utamaning praja
Adilmakmur paramarta


ATASANGIN.—Bersama Dekan FISIP Prof Dr Kumbayana, Dr Sucitra menghadap Rektor Universitas Atasangin Prof Dr Baratwaja.

BARATWAJA: Sungguh terkejut saya membaca surat permohonan sodara untuk mengundurkan diri sebagai akademisi. Kenapa, Dr Sucitra?

SUCITRA: Saya mau alih profesi.

BARATWAJA: Profesi apa?

SUCITRA: Politisi!

KUMBAYANA: Jadi politikus? Nah, hahaha… hebat! Utopia luar biasa! Tapi, apa sudah anda pikirkan betul? Memang anda teoretisi ilmu sosial politik, tapi bukan praktisi. Bisa apa?

SUCITRA: Justru itu! Saya mau berpolitik praktis. Dalam dunia akademisi tak ada peluang untuk jadi politisi. Saya butuh kebebasan berpolitik, bukan cuma kebebasan mimbar!

BARATWAJA: Apa ada?

SUCITRA: Ada di luar negeri! Saya mau beremigrasi ke negara pengusung demokrasi.

BARATWAJA: Atasangin juga negara demokrasi. Mau ke mana lagi sodara hendak mencari demokrasi?

SUCITRA: Hmh! Demokrasi Atasangin semu-feodal! Saya mau ke Pancala. Di sana lagi suksesi. Presiden Pancala Jendral Gandabayu hendak melakukan suksesi demokratis.

KUMBAYANA: Apa itu?

SUCITRA: Siapapun bisa jadi presiden Pancala, tentu saja jika punya power mampu menandingi Jendral Gandamana.

KUMBAYANA: Nah, hahaha… power apa andalan anda? Power Wagon, Power Metal, Power Slave? Nah, hahaha… apa coba? Teori? Gombal! Teori handal macam apapun hanya ada dalam wacana, dan semua wacana terpisah dari realita. Lebih radikal, tiada makna di luar wacana! Nah, Citra gak usah mimpi! Realistislah! Mencerdaskan kehidupan bangsa lebih mulia daripada utopia. Nah, hahaha.…

SUCITRA: Maaf, Prof Yan! Saya segan dan enggan berdebat dengan anda. Acuan teori kita beda. Saya sependapat dengan Michel Foucault! Wacana dan kuasa tidak terpisah dari realita. Ini perlu bukti! Prof Dr Baratwaja—saya mohon pamit!

BARATWAJA: Baik, selamat jalan!

SUCITRA: Permisi, Prof Yan.

KUMBAYANA: Mari-mari, semoga sukses! Jika berhasil, nanti kuikuti jejakmu. Nah, hahaha… good bye!

SUCITRA: G’bye!

Segera Sucitra
Menuju Pancala
Sayembara Pancala
Melawan Gandamana

PANCALA.—Presiden Gandabayu memanggil Menhankam Jendral Gandamana demi membahas perihal suksesi.

GANDABAYU: Bagaimana, Jendral Gandamana? Masih belum ada yang mampu menandingimu?

GANDAMANA: Belum, Pak! Tapi ini ada peserta baru. Dr Sucitra dari Atasangin, pakar besar ilmu sosial politik, dan … bujangan! Huahaha… silakan maju, Dr Sucitra.

SUCITRA: Terimakasih!

GANDABAYU: Sudah tahu aturan sayembara ini? Air-war, duel udara! Jika mampu menandingi kepiawaian tempur-udara Jendral Gandamana, sodara berhak diangkat jadi presiden Pancala dan berhak memperistri putriku Dewi Gandawati.

SUCITRA: Hah?

GANDAMANA: Huahahaha… usah kaget! Masa mau adutinju? Kuno! Mari adulaga di angkasa! Kau boleh pilih pesawat tempur yang kau suka.

SUCITRA: Mati aku! Baiklah, saya coba.

GANDAMANA: Silakan!

Tandang gonera
Sang Gandamana
Seluruh warga
Menonton laga

PALAGAN.—Jendral Gandamana melangkah gagah ke arah pesawat tempur supermewah. Dr Sucitra ragu! Sayembara ini tak terkira olehnya. Benaknya cuma terisi teori politik, tak kenal strategi tempur. Mau mundur, malu! Daripada mundur, lebih baik tempur.

“Ayo, Sucitra!”
“Siap!” Blaas!

Dua pesawat
Pesat-kebat

“Hidup, Jendral Ganda!” “Hidup! Hidup!” (Prok! Prok! Prok! Suit-suit!) “Wah, nekad!” (Teet!) “Trompetnya, Mas—budeg nih!” (Toeet!) “Diancuk!” (Buk!) “Adoow!” (Bruk!) “Rasain lo!”
“Sst! Brisik!”
“Caaang-kacaaang! Kacang, Om?” “Gak!” “Rokok, tisu, Getsbi!” “Gak!” (Jdak!) “Aduh, asu! Gak beli, ninju!” “Hahaha…!”
(Duut!) “Kentut lagi lo!” (Hfuh!) “Dasar!”
“Diem! Ribut mulu! Eh, taruhan yo?”
“Oke, gue jagoin Om Ganda!” (Cplek!) “Siplah! Gue, Om Goen!” “Lho!” “Heheheh…!”
(Zoss!) “Luput” (Blar!)
(Plas!) “Kena!” (Glar!)

Pesawat tempur
Sucitra hancur

“Mampus ya dia?”
“Entah la ya!”

Gandamana jaya
Jago sayembara
Ganti peristiwa
Tanda gara-gara

KARANG KABOLOTAN.—Dingin angin sepoi di tebing bukit. Pucuk gunung tertutup kabut. Dari sebuah gubuk ilalang mengumandang dendangria. Tembang pelipur bimbang! Panakawan pada bercandaria.

Wayang mana, wayang mana?
Wayang eta nu pang jagona
Hayang mana, hayang mana?
Hayang eta nu pang gedena

“Ehm, brr… dingin! Berburu ame Pak Pandu, sial gue! Ia dapetnya gede terus; gue, kecil mulu.”
“Iye aje, Truk! Dia pake bedil, lo pake ketapel. Beda!”
“Ahihi… tradisionil!”
“Mana mampu menyamai Pak Pandu: perangkat modern! Alat lebih dari bakat. Biar bakat hebat, tanpa alat temtu lambat. Biasa serba santai, ya nerimo. Budaya statis mau melawan budaya dinamis. Mana bisa?”
“Iya-iya! Romo mana?”
“Sama Pak Pandu!”
“Ke sana, yo?”

PANDU: Kurasa liburku sudah cukup, Ki Semar. Marilah ke Astina.

SEMAR: Mari, Pak!—Ayo, Le!

“Asiiik!” “Sip, Mo!”

Pandu berjalan
Merambah hutan
Halang terjang
Perang kembang

ALASAMAR.—Pandu Dewanata berperang. Rintang-halang ia terjang. Para penyerang lintangpukang. Tungganglanggang!

“Bah, keparat! H-hadapi a-aku Gendir Penjalin!”
“O, Cakil—hajar, Gong!”
(Pletak!) “Aduh!” (Cpret!) “Rasain!” (Bletak!) “Wadow! M-mati a-k-u….” (Bluk!)
“Hehe… segitu doang! Lagi nih!” (Cpret! Thaak!) “Waaw… ketapel lo kena gue nih,
Gong! Ngawur lo!” “Hehe…!”
“Babo-babo! Pragalba, Rambutgeni, Padasgempal, Jurang-rawah, Buta Terong, Galiuk—serbu!" (Jlap! Jlap! Jlap! Jlap!)
(Plas!) “Makan tu bom!”
(BLAARR!)

Para Buta
Pada fana
Tampaklah orang
Melayang-layang

“Eh, lihat, Truk! Tuh!”
“Hah? Parasut jatuh!”

Panakawan
Berlarian

PANDU: Anda siapa?

SUCITRA: Saya Sucitra. Haduh… untung saya selamat! O ya, anda siapa?

PANDU: Saya Pandu dan ini Ki Semar. Kenapa anda bisa jatuh di sini?

SUCITRA: Yeah… saya kalah sayembara. Sialdangkal! Saya tak mampu menandingi kepiawaian air-war Jendral Gandamana dari Pancala. Ia luarbiasa!

PANDU: O, memang! Apalagi jika ia memakai jet tempur Wungkalbener, ia tak tertandingi. Itulah kekuatan Pancala! Namun jika anda mau, saya bersedia membantu.

SUCITRA: Hah? Tapi—?

SEMAR: Em, hahahah… tak usah samar, Pak Citra! Jendral Pandu Dewanata ini Presiden Astina. Beliau ahli polemologi, pakarakbar budaya tempur.

SUCITRA: O, baiklah!

PANDU: Tandingan jet tempur Wungkalbener itu cuma jet tempur Narantaka. Ini logika perwira. Namun keperwiraan perlu disertai kecendekiaan. Tempur bukan cuma adukeras, namun juga aducerdas. Modernitas Pancala cuma bisa diatasi dengan posmodernitas. Ingat Powershift Toffler, dan War and Anti-War bisa diacu.

SUCITRA: Wah, kawiryan tidak terlepas dari kawinasisan. Terlalu lelap saya tertidur di menaragading politik. Terlena dari realita, hidup dalam utopia. Adalah sebuah anugerah, saya bisa bersua Jendral Pandu Dewanata.

PANDU: Bawa jet Narantaka. Semoga sukses! Berangkatlah!

SUCITRA: Terimakasih!

Pesat Narantaka
Melesat angkasa
Kali ini Sucitra
Digdaya di udara

PANCALA.—Dr Sucitra menang! Seusai sayembara ia di-anugerahi pangkat Jendral, menikah dengan Dewi Gandawati, dan dilantik menjadi presiden Pancala. Kini ia bernama Jendral Drupada. Dan dalam pemerintahannya, ia menyetujui Jendral Gandamana diangkat menjadi Wapres.

Petik kembang sinebaran
Tutup lawang singgotaka


Semarang, 4 Pebruari 1994 Ki Harsono Siswocarito

Saturday, December 22, 2007

Sang Hyang Segara Rekayasa



Puja-pujiku hanya bagiNya
Pencipta semesta seisinya
Hormatku buat ki pujangga
Yang memahamuliakanNya

ASTINA.—Para Kurawa pada bicara bersama Jendral Baladewa, Presiden Mandura, membahas masalah petaka negara.

DURYUDANA: Dewan sidang yang mulia! Luapan samudra, musim hujan yang luarbiasa, hujanbadai, banjirbah, seolah mau menenggelamkan dunia, menjadi malabencana global. Apa hal ini juga menimpa negara Mandura?

BALADEWA: Iyo—sama! Malah beberapa daerah sudah lenyap dilahap luap samudra.

KARNA: Pun jua Propinsi Awangga! Nelayan jadi korban! Wisata bahari mati! Rusakporak di sana-sini.

DURYUDANA: Apa sebenarnya penyebab malabencana ini? Dan bagaimana cara mengatasinya?

SAKUNI: Maaf, Pak! Mungkin Prof Durna punya sumbangsih pemikiran otentik serta strategi pemecahan masalah yang jitu.

DURYUDANA: Benar, Prof Dur—silakan naik ke mimbar.

DURNA: Nah, hahaha… trims! Pakarakbar tak perlu berkoar di atas mimbar! Tut wuri handayani! Nah, hahaha… ketahuilah dewan sidang yang mulia—tak cuma Astina, Mandura, Awangga yang tertimpa malapetaka, malah sampai Bangladesh. Lebih mengerikan! Nah, secara teoritis—ada akibat, ada sebab! Semua mala hanyalah akibat dari suatu sebab. Samudra meluap, hujanbadai, banjirbah, malah gunung es di kedua kutub bumi pun mencair—itu semua kerna perbuatan manusia yang tak pernah peduli pada kelestarian lingkungan hidup. Oknum tak bertanggungjawab!

BALADEWA: Krrk-cuah! Oknum keparat! Siapa, Prof?

DURNA: Menurut penelitian, itu semua akibat perbuatan si Antasena yang sedang bereksperimen di dasar samudra.

BALADEWA: Krrk-cuah! Laknat si Antasena!

KARNA: Apa maunya ia?

DURNA: Kerna ia Kasal Amarta, pasti punya tujuan politis. Demi kejayaan bangsa Pandawa! Ia mau menjadi penguasa samudra dan mengaku bergelar Sang Hyang Segara Rekayasa.

BALADEWA: Apa? Sang Hyang? Krrk-cuah! Edan! Si Antasena gila! Apa gelar itu ada dalam kitab, Prof?

DURNA: Ah, tiada! Semua pustaka telah dibaca. Pustaka Universitas Sokalima sampai Universitas Atasangin sudah saya teliti. Baik dalam kitab kuno model Tantu Panggelaran, Kitab Manik Maya, Kitab Paramayoga, Kitab Kanda, Kitab Sudamala, Kitab Nawaruci, Kitab Gatutkacasraya, Mahabarata, Ramayana, maupun kitab lain—tak ada gelar Sang Hyang Segara Reka-yasa. Sang Hyang gadungan! Palsu!

DURYUDANA: Jika begitu, gagalkan eksperimen si Antasena, tangkap dan adili!

SAKUNI: Jika Amarta melindungi?

DURYUDANA: Serbu!

“Setuju! Setuju! Setuju!” + “Ziplah!” + “B-beres!” + “OK!” + “Hidup Kurawa!” + “Hidup! Hidup! Hidup!…”
BALADEWA: Krrk-cuah! Tepat!

DURYUDANA: Baiklah, Jendral Baladewa—pimpinlah pasu-kan multinasional. Dan Letjen Karna harap memimpin pasukan Parakomando Astina.

BALADEWA: Siap!

KARNA: Siap!

“Pasukan Parakomando Operasi Samudra—siap gerak! Lapor: Dursasana, Dursala, Dursata, Durmuka, Durkarna, Duradara, Durwigata, Durmagati, Kartamarma, Kartipeya, Citragada, Citramarma, Citrakandala, Citrayuda, Citraksa, Citraksi, Adityaketu, Bimabahu, Dirgabahu, Dirgalacana, Dirgarama, Dreda-rata, Drepasastra, Drestahasta, Drepayuda Drepawarman,—siap bergerak!”

“Laksanakan!”
“Siap!”
Pertempuran samudra
Siapsergap Antasena

DASAR SAMUDRA.—Zona teritorial Amarta.

(BLAARR!)
“Krrk-cuah! Ranjo laknat!”
“Awas kapal slam!”
(BLAARR!)

AANTASENA: Hmh, Kurawa—jangan harap bisa mendobrak-porak hankam Amarta. Submarine Antaboga karyarekacipta Prof Dr Antaboga teramat handal. Aku Sang Hyang Segara Rekayasa lagi bereksperimentasi dalam Sea-Lab Oceanoculture demi masa depan bangsa. Siapa pun tak boleh masuk ke dalam Sea-Lab ini.

Gara-gara
Bumi gapai
Laut badai

TUMARITIS.—Dalam dukamala dunia, Panakawan pada berwawancanda.

“Excuse me, I’m Petruk Swayze. Dear Readres—how are you today? Fine? OK, so am I. Hehehe… ceritanya hujan nih: basah, bocor, becek! Ehm… Yun, Ren, Sis—ngapain? Ngeceng melulu! Kapan mejeng lagi di Matahari? Gantian! Ngampus kek, hehehe… gemana tuh Wayang Kampus ? Hura-hura aje! Bilangnya: aktivis! Ngilmiyah kek, hehehe… gak nyeni ah!”
“Omong ame siape, Truk?”
“To my fans, of course!”
“Huh, sok top! Sok pop!”
“Hehehe… emang kok! Eh, Gareng mana? Bang, si Gareng Mbeling udah dibikin belon? Cepet buru dimainin! Kan mau show—jangan cuma Bagong yang in action. Bosen!”
“Sentimen lu, Truk!”
“Harus! Nah, itu Gareng! Sini, Reng! Where’re ye from?”
“Show-biz!” + “Show off!”
“Zow, ngerti? Gak kaya lu: ngeceng melulu. Gak laku-laku!”
“Enak aje! Di sono gue observasi: meneliti perilaku budaya konsumerisme demi antisipasi bisnis masadepan. Kan asik!”
“O dasar Bagong Urban!”
“Udah! Pak Jun datang!”

ARJUNA: Kang Semar—Laksamana Antasena mesti dicari. Lama dia tak melapor ke Amarta.

SEMAR: Mari, Pak.

Arjuna dan Panakawan
Menembus jalan hutan

“E-e-babo-babo… Gog—ada p-penjelajah r-rimba Pringga-dingatala. S-siapa, Gog?
“Sst! Jendral Arjuna!”
“E-e-babo-babo… s-serbu!”—(Clap!)—“C-ciaat!”—(Dez! Zplak! Deb! Bugh!)—“Hugk-khoeekh uhuooo… m-mati a-aku, Gog!”—(Bruk!)
“Cakil mati, Lung!”
“Biarin saja, Gog!”
“Grr-babo-babo, keparat! Hadapi aku Dityakala Badai-segara! Heh, konco-konco: Pragalba, Rambut Geni, Padas Gempal, Jurangrawah, Buta Ijo, Buta Terong, Buta Endog—ayo keroyok si perwira keparat itu!”
“C’mon!” + “OK!” + “Move!”
“Satu, dua, tiga! Ciat! Ciat! Ciiaatt!”—(Blaarr!)—“Aduh! Ahk! Khk! Klk!”—(Blug! Blug! Blug!)
“Zuilah! Mampuz zemua!” + “Benal! Ayo lali, Mas!”
(Jleg!)—“Brenti!”
“Ziapa lu? O yez! Kenalin—gue Mr George! Yez, Mr Joz!”
“Busyet! Keren juga nih Buto—pake nama beken segala! Elu kalah, Reng.”
“Em… lu siape, Pelo?”
“Mistel Gabliel! Ayo pelgi ah! Usah ngulusin olang tak kaluan!”—(Bugh! Bugh!)—“Adow! Main pelmak lagi! Blantem-blantem, tapi spoltif! Ngawul’u!”
(Dor-dor!)—“Beres, Gong!”

Buta-buta mala
Pada sirnafana
Gentur tutur
Bangun catur

SEA-LAB OCEANOCULTURE.—Laksamana Antasena yang bergelar Sang Hyang Segara Rekayasa menggegerkan dunia berkat penemuan Sistem Hankam Dasar Samudra, serta Oceanomigration demi mengatasi masalah kepadatan pen-duduk masadepan dengan merekacipta Gedung Pencakar Laut. Eksperimentasi fantastik semodel itu menyebabkan pro dan kontra di seluruh penjuru dunia. Tidaklah gaib-ajaib jika Girinata, Presiden Sorgaloka, turun tangan.

GIRINATA: O Jagat Dewa Batara! Antasena—hentikan eksperimen itu! Usah mendahului karsa! Dan lepaskan gelar Sang Hyang yang kau sandang.

ANTASENA: Maaf, tidak bisa! Eksperimen bukan sekedar sok cendekia. Gelar bukan gagah-gagahan! Ini demi kehidupan.

GIRINATA: Babo-khhk-cuah! Kurang ajar! Apa kau tak takut pada pasukan multisemesta dari Jagat Triloka?

ANTASENA: Maaf, Tuan! Tidak!

GIRINATA: Keparat! Tangkap!

“Siap! Indra, Bayu, Brahma, Wisnu, Surya, Sambu, Kama-jaya, Yamadipati, Temboro, Trembuku—sergap si Antasena!”
“Siap! Siap! Siap! Siap!”
(BLAARR!)
“O Jagat Dewa Batara!” + “Mundur! Bayu Mundur!”
“Bergenzong-pada-ndoyong, si Antasena tak tertaklukkan! Benar-benar adidaya ia! Celaka! Ini urusan Ki Semar, Tuan!”
“Tuh Ki Semar datang!”

SEMAR: Ada apa, Tuan? Bakutempur sama Pak Antasena rupanya. Maaf, Maha Sang Hyang! Demi pranata alam—Sang Hyang Segara Rekayasa sebenarnya bergerak atas kuasa Sang Hyang Wenang. Nah, Pak Antasena—tugas telah sampai! Wenang mencipta, Wenang merekayasa, Wenang memelihara. Bukankah begitu, Maha Sang Hyang?

“Soal LBH—romo pakarnya!”
“LBH itu apaan sih, Truk?”
“LBH: Lakon Bangsa Hyang.”

SANG HYANG WENANG: Ki Semar benar! Manggayuh karahar-janing praja, memayu-hayuning bawana.

Petik bunga guna
Intisari merdeka


Semarang, 28 Mei 1991 Ki Harsono Siswocarito

Friday, December 14, 2007

Sang Hyang Mayadewa




Sri tinon ing pasewakan
Busana manekawarna kebak
Puspiteng udiyana miyang
Hanjrah sarwa rukma …

ASTINA.—Para pemimpin Kurawa sedang mengadakan sidang umum, demi membahas tuntas krisis Kurusetra.

DURYUDANA: Dewan sidang terhormat! Krisis Kurusetra adalah krisis dunia yang perlu diatasi secara global sebelum terlanjur pecah Perang Dunia Baratayuda. Demi kejayaan Kurawa, sidang ini dibuka. Selamat datang buat Jendral Baladewa.

BALADEWA: Iyo, terima kasih, huahahaha… maaf, saya terlambat. Maklum—sibuk! Banyak urusan dalam negeri. Demi pemerataan pembangunan! Huahahaha….

SAKUNI: Hehe… sama! Bahkan Astina kini lagi menggalakan perdamaian dunia. Mencegah PD III Baratayuda! Gitu kan, Prof?

DURNA: Benar! Nah, justru itu Kurawa perlu menerapkan strategi politik luar negeri yang jitu! Menang tanpa perang! Nah, hahaha….

DURYUDANA: Tepat, Prof Dur! Sebagai mahaguru penuh-ilmu canggih-teori kaya-pustaka tentu kau mampu memberikan strategi jitu!

DURNA: Nah, hahaha… temtu, temtu! Durna bukan sekedar profesor tampang, bukan profesor pangkat, namun mahapakar serba pintar, mahaahli multicanggih!

BALADEWA: Krrk-cuah! Usah sombong! Buktikan, Prof!

DURNA: Baik! Menurut penelitian, dasar kekuatan hankam Amarta terletak pada kemanunggalan antara Pandawa dengan Panakawan. Itulah kemanunggalan antara aparat dengan rakyat! Nah, demi menghancurkan kekuatan serupa itu—culik Semar! Sandra! Bila perlu, bunuh!

KARNA: Tunggu dulu! Itu melanggar hak-hak azasi manusia. Saya keberatan!

SAKUNI: Tenang, Pak Gub Awangga! Kebijakan ada pada Presiden Duryudana, decision-maker.

DURYUDANA: Hmh, setuju! Gemana, Jendral Baladewa?

BALADEWA: OK!

DURYUDANA: Baik—Brigjen Dursasana, siapkan Operasi Panakawan. Sandra Semar!

DURSASANA: Ait! Siap! Huaha… e-e-e, permisi!

“Siap gerak! Inilah daftar perwira pilihan dalam Operasi Panakawan: Dursala, Dursata, Durmagati, Durmuka, Durkarma, Durwigata, Duradara, Kartamarma, Kartipeya, Citrayuda, Citra-marma, Citrakandala, Citraksa, Citraksi, Citragada, Drepayuda, Drepawarman, Drepasastra, Dredarata, Ugrasewa, Drestahasta, Adityaketu, Bimabahu, Dirgarama, Dirgabahu, Dirgalacana…!”
“Siap! Siap! Siap! Siap!”

Gegap derap
Siap sergap

Waspada Gatotkaca
Perwiratama udara

TAPAL BATAS, AMARTA.—Pesawat tempur Krincingwesi meluncur pesat mahacepat!

“Hmmm… keparat Kurawa! Hadapi dulu Angkatan Udara Amarta!"—(Plas! Plas! Plas!)
“Awas bom! Tiarap!”
(Blar! Blar! Blar!)
“Krrk-cuah! Pesawat laknat keparat! Berani menjegal pasukan Astina—rasakan nih!”—(Dreder-der-der…!!!)
“Break, Divisi Jangkarbumi, di sini Marsekal Gatotkaca minta bantuan Angkatan Darat Amarta, over !”
“Well, Kolonel Antareja siap membantu—”
“Kontek Laksamana Antasena!”
“Siap!”
(Blar! Blar! Blar!)
“Krrk-cuah! Gawat!”
“Dur, Dir, Cit, Karta… mundur! Mundur!”
“Krrk-cuah! Gemana, Prof?”
“Berat! Daripada hancur, baikan mundur. Ganti taktik diplomatik! Aku mau menemui Gubernur Arjuna di Madukara.”
“Baik! Hati-hati, Prof!”
“OK, sip dah!”

Cepatkebat Prof Durna
Pergi menuju Madukara

MADUKARA.—Jendral Arjuna menyambut Prof Durna.

ARJUNA: Selamat datang, Prof.

DURNA: Terima kasih! Sebagai duta Astina saya diutus oleh Presiden Duryudana demi merundingkan masalah krisis Kuru-setra. Demi mencegah perang Baratayuda, demi perdamaian dunia, Astina minta Amarta menyerahkan Semar.

ARJUNA: Buat apa, Prof?

DURNA: Untuk dijadikan sesepuh Astina! Nah, jika tak ke-beratan, harap segera antarkan Semar ke Astina.

ARJUNA: Baiklah! Petunjuk mahaguru saya laksanakan.

DURNA: Nah, hahaha… silakan!

Bumi goncang
Laut goncang

GARA-GARA—Taktikpicik konflik politik tersulut sudut maut. Tumaritis terjamah wabah serakah buas darah.

Suwe ora jamu, Mas
Jamune godong telo
Suwe ra ketemu Mas
Lho kok malah bodo

“Welah, Gong—kuno! Gak maju-maju! Seni mesti memiliki ciri mandiri. Mesti khas, bukan klise!”
“Asal duit—Anjing!”
“Welah! Kena wabah dokuisme, idealisme seni luntur!”
“Biarin—Bangsat!”
“Udah-udah! Ribut aje! Malu tuh ame pembaca.”
“Sendika dawuh, Raka Prabu—”
“Udah—Anjing! Usah ngedalang sinting gitu!”
“Hihi… abis, omongan wayang asyik. Jika saja aku dalang!"
“Ngapain?”
“Kan kuganti namaku jadi Bagong De Vito—hihihi….”
“Busyet! Kirain apaan?”
“Eh, liat ada Pak Jun!”
ARJUNA: Sampurasun!

SEMAR: Rampes, Jendral Arjuna, silakan masuk.

ARJUNA: Terima kasih. Pak Semar, kuminta kesediaanmu untuk jadi duta perdamaian Amarta di Astina. Saat ini juga kau mesti berangkat bersama Prof Durna.

DURNA: Benar, Ki Semar!

SEMAR: Baiklah, mari—Le, jaga desa!”
“Beres, Mo!”
Terberitakan Prof Durna
Membawa Semar ke Astina

ASTINA.—Dalam bui di ruang bawah tanah Semar dipenjara. Bukan jadi duta ia, tapi mandi derita. Ia tak kuasa berbuat apa.

“O, Gusti! Apa noda, dosa, cela, dan mala yang telah kuperbuat, hingga aku memperoleh nasib begini?”

Duka daku dikau daki
Dikau duka daku daki

“Hai, Kurawa! Semar menghilang dari penjara!”
“Krrk-cuah! Keparat! Siapa kau?”
“Usah kaget, Kurawa! Aku Sang Hyang Maya Dewa yang telah membebaskan Ki Semar Badranaya.”
“Dur, Cit, Karta—tangkap dia!”
“Siap! Siap! Siap!”
(Clap!)—“Ciaat!”—(Jder!)—“Ait! Pfuh!”—(Splak! Bugh!) “Aduh!”
“Krrk-cuah! Keparat! Hiaatt!”— (Zplak! Dez! Bugh!) —“Heughk! Hoeekh ooo…!”
“Liat, Dur! Jendral Baladewa dihajar sampai muntaber!”
“Krrk-cuah! Lari, Cit!”
“Oke deh!”

Kurawa lari
Kian kemari

Sang Hyang Maya Dewa
Segera menuju Amarta

AMARTA.—Jendral Arjuna minta suaka.

YUDISTIRA: Ada apa, Jendral Arjuna?

ARJUNA: Celaka! Saya diburu mahajaksa bernama Sang Hyang Maya Dewa.

BIMA: Hmh, kenapa?

ARJUNA: Saya telah mengirim Pak Semar ke Astina sebagai duta perdamaian, namun ia murca.
KRENA: O, pantas!

“Heh, Arjuna! Usah sambat keparat! Meski lari ke luar tata semesta, kau tak akan bebas lepas dari tuntutan Mahajaksa Sang Hyang Maya Dewa!”

ARJUNA: Belalah Saya.

KRESNA: Biar kuhadapi!

“Babo krrk-cuah! Orang hitam kusam mau apa kau?”
“Maaf, Mahajaksa—memang Arjuna ada di pihak terdakwa, jika terbukti bersalah. Namun Amarta adalah negara hukum yang menghargai azas praduga tak bersalah. Nah, marilah kita selesaikan di pengadilan.”
“Usah berdalih! Arjuna terlibat dalam penipuan tenaga kerja, penyalahgunaan jabatan, berkomplot dengan Kurawa untuk
mencelakakan Ki Semar Badranaya.”
“Baiklah, kesaksian saudara bisa dibeberkan di peng-adilan. Saudara bisa menuntut Jendral Arjuna! Apakah saudara warga Amarta?”
“Ya! Ini KTP saya!”
“Lho! Pak Semar?”
“Ya: Sang Hyang Maya Dewa hanyalah nama samaran!”
“O!”
“Hehehe… sudahlah, Pak Kresna. Kekeliruan Jendral Arjuna saya maklumi! Saya mesti segera kembali ke desa Tumaritis. Permisi!”
“Mari, Pak Semar!”


Semarang 12 Mei 1991 Ki Harsono Siswocarito