Kabut mulai tersibak!
Sang surya terbelalak
Menatap setiap gerak!
DESA TUMARITIS.--Kyai Semar Badranaya, ya Ki Lurah Kudapawana tampak tercenung dalam renung: masyarakat sudah berubah! Desa Tumaritis mulai beranjak menuju kehidupan yang dinamis. Berbeda dari pedesaan zaman dulu, desa-desa yang terbelenggu dalam statisme sistem tradisi. Tumaritis bergerak penuh gejolak.
Bersamaan dengan murcanya Kyai Petruk, muncul Begawan Dawala yang super-mbeling bikin goro-goro. Berbeda dari Kyai Petruk dalam bergoro-goro yang sok penuh banyol-konyol, Begawan Dawala bikin goro-goro dengan mencanangkan kehidupan yang B3B (bebas tiga buta). Alhasil masyarakat Amarta menjadi pintar dan terpelajar tanpa mengimpor mahasiswa KKN beserta DPL gombalnya dari Universitas Sokalima. Meskipun demikian, masyarakat yang pintar-terpelajar itu tidak terlepas bebas dari problema yang dihadapinya. Bahkan terjadi wabah baru yang baru mewabah. Kini pelajar sudah jadi "polusi" yang menjangkitkan epidemi intellectual deficiency! Polusi baru pada masyarakat modern yang secara langsung berdampak super negatif pada kehidupan manusia.
Polusi dan epidemi itu jelas bukan akibat cerobong asap dan limbah industri baja, pupuk, dan apa sajalah yang sok mencemari lingkungan; namun, akibat limbah industri pendidikan itu sendiri, yang diakui atau tidak mencemarkan! Setidaknya begitu menurut Begawan Dawala. Dengan cemas dia mengamati industri pendidikan: menurutnya, tidak terdapat keseimbangan yang harmonis antara mesin-mesin pada tiap jenjangnya; sehingga produk-produknya tak pernah tepat guna. Sebagai akibatnya, tak ada produk jadi yang siap pakai! Di samping itu, industri pendidikan penuh dengan pemborosan! Ibarat padi satu ton, yang jadi beras cuma satu kilogram, dan akhirnya hanya jadi sesuap nasi. Lainnya menjadi limbah produksi industri pendidikan itu sendiri! Jika limbah itu tidak segera diatasi, akhirnya jadi polusi, dan terjangkitlah epidemi intellectual deficiency. Lebih berbahaya dari wabar sampar a la La peste Albert Camus. Begawan Dawala bermafhum-senyum.
Memang industri pendidikan telah mampu menciptakan selera intelektual. Sistem mekanismenya memaksa adanya pengolahan produksi yang berkelanjutan. Dan ironisnya, keluar dari sistem itu berarti mempercepat polusi; dan berhenti berarti deficiency mendadak; sedangkan jika terus berlanjut malah menjadi kronis! En vano ni hablar de eso--kata Begawan Dawala dalam bahasa Don Juan.
Dengan pandangan tajam-dalam Begawan Dawala menonton pertunjukan masyarakat. Berbagai upaya untuk meredam polusi dan epidemi tesbut banyak dilakukan, kendatipun hanya sekedar ramai-ramai. Orang-orang formal segera memperluas dan mempertinggi "bangunan industri pendidikannya". Orang-orang non-formal sibuk memasarkan mesin pendidikan yang portable. Di lingkungan informal sendiri sibuk mencari obatnya.
Menurut Begawan Dawala, orang-orang semodel itu telah salah melakukan diagnosa; dan akibatnya telah menyuntikkan obat yang salah. Mala-praktek pendidikan tak terelakkan! Polusi hanya dialirkan ke tempat lain, sedangkan intellectual deficiency hanya diobati dengan intellectual fallacy! Sungguh mengerikan.
Sebagai warga negara Amarta yang baik, Begawan Dawala tidak tinggal diam begitu saja. Dia adalah penonton yang penuntun! Makannya dia segera menemui Kyai Semar.
Di rumahnya yang sederhana, Kyai Semar bangkit dari ketermenungannya. Dia mendekati Gareng dan Bagong.
SEMAR: Le, apa kalian ndak tau ke mana si Petruk pergi?
GARENG: Gak, Mo!
BAGONG: Nah--mangkanya… anak minta sekolah gak dituruti. Petruk kan nekad minggat!
SEMAR: Lho kok nyalahken Romo! Dia orang ndak makan nasehat. Jangan memaksa diri masuk perguruan tinggi, apalagi yang asal berdiri.
BAGONG: Tapi, Mo, kini kan jamannya orang bersekolah. Masya Romo menega nelantarkan para putra ketinggalan jaman. Coba liat Kang Gareng yang nyaris buta huruf, ada KMD--koran masuk desa-- dia cuma dapet ngeliat gambarnya thok. Lulus B3B aja baru kemaren sore. Kasihan!
GARENG: Ngece-kere!
BAGONG: Bukannya ngece bin ngina, itu kenyataan! Orang lain sibuk nyalon kades dan nyari kerjaan nyang mbonapide en kualipeot, Kang Gareng kemana-mana bawa cangkul--kerja baaakti mulu!
GARENG: Lha wong aku kan abdi-negeri yang baik.
BAGONG: Iya kalo kerja baktimu sungguhan, wong Kang Gareng nyari makanannya thok.
Tak ampun lagi Gareng melayangkan tinjunya. Bagong mengduh-aduh.
SEMAR: Hehehe… malah ribut-gelut! Kerja bakti itu penting. Kita orang kecil yang hanya bisa nyangkul yang kerja baktilah dengan cangkul. Romo saja yang pak lurah tidak hanya sekedar perentah saja kok. Turun-tangan itu perlu! Apa dumeh pemimpin, kerjanya cuma ita-itu melulu! Ya--ndak!
GARENG: Nah! Mangkanya--tul, Mo!
SEMAR: Sana cari si Petruk!
BAGONG: Turun-tangan, Mooo!
Semar mesem.
GARENG: Wah--gak sanggup, Mo. Gemana nyarinya? Ke gunung takut linglung, ke kota takut sesat!
BAGONG: Kamfungan beratz sih! Saya sih ketimbang nyari Petruk yang gak tentu rimbanya, baikan nyari duit! PTS kan lagi panen besar. Saya bisa turut menuai.
GARENG: Gak bakal becus! Itu kan musim panennya para cendekiawan. Kamu es-em-a saja gak tamat-tamat.
BAGONG: Keliru! Yang punya panen emang cendekiawan, yang dipanen saku mahasiswa, yang kelabakan kena ani-ani ya orang tua! Dan yang menggali pondasi untuk kampus mewah tapi miring itu, ya, kita-kita ini.
GARENG: Weee udah banyak mesin. Mampu bersaing dengan mesin?
BAGONG: Apa boleh buat manusia produk abad teknologi harus mampu bersaing dengan mesin. Teknologi tidak hanya menciptakan robot, namun juga memperobot manusia. Semangkin menjadi robot, manusia semangkin terpakei dalem dunia teknologi. Daripada tangan-kosong otak-kopong! Ya--ndak?
Dalampada itu Begawan Dawala memasuki ambang pintu.
DAWALA: Sampurasun.
SEMAR: Rampes! O, Ki Dawala, silaken masuk.
DAWALA: Terima kasih, Kyai. Begini, Kyai. Saya turut prihatin melihat gejala baru yang menimpa masyarakat kita. Setelah masyarakat tebebas-lepas dari penyakit tiga buta; kini timbul polusi pelajar dan wabah intellectual deficiency. Menghadapi kondisi yang demikian adanya, apa yang seharusnya diperbuat, Kyai?
Kyai Semar terkejut-kalut. Menghadapi masalah semodel itu, dia tak dapat berbuat lain kecuali kembali kepada jati-dirinya.
SEMAR: Itu memang risiko. Kita tak bisa nyalahken siapa-siapa. Industri pendidikan terus berjalan tanpa dapat dihentikan. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan industri itu hanyalah bagaimana cara mengemudikannya. Akan dikendalikan ke mana industri pendidikan kita?
DAWALA: Justru itu yang mencemaskan, Kyai. Tripusat pendidikan goncang karena tak seimbang di sana-sini. Prof Dr Arjuna, Mendiknas Amarta, kewalahan mengatasi industri pendidikan formalnya. Gedung industri itu memang setinggi langit, tapi mutu hanya setinggi tumit; canggih di menara-gading, tapi loyo di lapangan; dan kesenjangan pun kian menjurang. Produk industri pendidikan makin terasing dari selera pasar. Biaya produksi lebih besar daripada harga jual produk-produknya, yang tak jarang sia-sia. Pada akhirnya industri itu sangat konsumtif terhadap bahan baku hanya untuk membuat kesia-siaan!
Gareng dan Bagong diam tak faham.
SEMAR: Lantas bagaimana maksud Ki Begawan?
DAWALA: Perlu diadakat deformasi!
Kyai Semar tercengang. Begawan yang satu ini memang multi-radikal!
SEMAR: Saya mafhum--Ki Begawan tidak mung waton omong, namun jangan menentang sistem!
DAWALA: Deformasi bukan menentang sistem. Deformasi adalah paradigma baru. Sudah saatnya Amarta mendirikan pendidikan massa. Dinamika sosial telah menampilkan masyarakat massa yang kian memperkokoh budaya-massa. Dalam kondisi demikian akan kian pesat tumbuh-kembangnya informasi-massa. Dalam pendidikan massa, peranan informasi-massa sangat mutlak sebagai mahaguru-massa.
GARENG (berbisik): Kamu ngerti, Gong?
BAGONG: Tidak!
SEMAR: Apa itu mumkin secara operasional?
DAWALA: Tentu! Tinggal menunggu tampilnya mahaguru-massa, yang mendidik massa dengan kecanggihan informasi-massa. Untuk itu media-massa pun tak akan lepas dari deformasi! Semakin kultural edukatif ia, semakin terpercaya untuk menjadi lidah mahaguru-massa. Suatu saat deformasi informasi akan mengubah dunia!
BAGONG: Semodel revolusi ya?
DAWALA: Deformasi bukan revolusi! Revolusi model apapun hanya menyajikan kepalsuan yang menipu. Revolution is just a mere culture of human-pigs! Revolusi hanyalah omong-kosong!
Sang surya terbelalak
Menatap setiap gerak!
DESA TUMARITIS.--Kyai Semar Badranaya, ya Ki Lurah Kudapawana tampak tercenung dalam renung: masyarakat sudah berubah! Desa Tumaritis mulai beranjak menuju kehidupan yang dinamis. Berbeda dari pedesaan zaman dulu, desa-desa yang terbelenggu dalam statisme sistem tradisi. Tumaritis bergerak penuh gejolak.
Bersamaan dengan murcanya Kyai Petruk, muncul Begawan Dawala yang super-mbeling bikin goro-goro. Berbeda dari Kyai Petruk dalam bergoro-goro yang sok penuh banyol-konyol, Begawan Dawala bikin goro-goro dengan mencanangkan kehidupan yang B3B (bebas tiga buta). Alhasil masyarakat Amarta menjadi pintar dan terpelajar tanpa mengimpor mahasiswa KKN beserta DPL gombalnya dari Universitas Sokalima. Meskipun demikian, masyarakat yang pintar-terpelajar itu tidak terlepas bebas dari problema yang dihadapinya. Bahkan terjadi wabah baru yang baru mewabah. Kini pelajar sudah jadi "polusi" yang menjangkitkan epidemi intellectual deficiency! Polusi baru pada masyarakat modern yang secara langsung berdampak super negatif pada kehidupan manusia.
Polusi dan epidemi itu jelas bukan akibat cerobong asap dan limbah industri baja, pupuk, dan apa sajalah yang sok mencemari lingkungan; namun, akibat limbah industri pendidikan itu sendiri, yang diakui atau tidak mencemarkan! Setidaknya begitu menurut Begawan Dawala. Dengan cemas dia mengamati industri pendidikan: menurutnya, tidak terdapat keseimbangan yang harmonis antara mesin-mesin pada tiap jenjangnya; sehingga produk-produknya tak pernah tepat guna. Sebagai akibatnya, tak ada produk jadi yang siap pakai! Di samping itu, industri pendidikan penuh dengan pemborosan! Ibarat padi satu ton, yang jadi beras cuma satu kilogram, dan akhirnya hanya jadi sesuap nasi. Lainnya menjadi limbah produksi industri pendidikan itu sendiri! Jika limbah itu tidak segera diatasi, akhirnya jadi polusi, dan terjangkitlah epidemi intellectual deficiency. Lebih berbahaya dari wabar sampar a la La peste Albert Camus. Begawan Dawala bermafhum-senyum.
Memang industri pendidikan telah mampu menciptakan selera intelektual. Sistem mekanismenya memaksa adanya pengolahan produksi yang berkelanjutan. Dan ironisnya, keluar dari sistem itu berarti mempercepat polusi; dan berhenti berarti deficiency mendadak; sedangkan jika terus berlanjut malah menjadi kronis! En vano ni hablar de eso--kata Begawan Dawala dalam bahasa Don Juan.
Dengan pandangan tajam-dalam Begawan Dawala menonton pertunjukan masyarakat. Berbagai upaya untuk meredam polusi dan epidemi tesbut banyak dilakukan, kendatipun hanya sekedar ramai-ramai. Orang-orang formal segera memperluas dan mempertinggi "bangunan industri pendidikannya". Orang-orang non-formal sibuk memasarkan mesin pendidikan yang portable. Di lingkungan informal sendiri sibuk mencari obatnya.
Menurut Begawan Dawala, orang-orang semodel itu telah salah melakukan diagnosa; dan akibatnya telah menyuntikkan obat yang salah. Mala-praktek pendidikan tak terelakkan! Polusi hanya dialirkan ke tempat lain, sedangkan intellectual deficiency hanya diobati dengan intellectual fallacy! Sungguh mengerikan.
Sebagai warga negara Amarta yang baik, Begawan Dawala tidak tinggal diam begitu saja. Dia adalah penonton yang penuntun! Makannya dia segera menemui Kyai Semar.
Di rumahnya yang sederhana, Kyai Semar bangkit dari ketermenungannya. Dia mendekati Gareng dan Bagong.
SEMAR: Le, apa kalian ndak tau ke mana si Petruk pergi?
GARENG: Gak, Mo!
BAGONG: Nah--mangkanya… anak minta sekolah gak dituruti. Petruk kan nekad minggat!
SEMAR: Lho kok nyalahken Romo! Dia orang ndak makan nasehat. Jangan memaksa diri masuk perguruan tinggi, apalagi yang asal berdiri.
BAGONG: Tapi, Mo, kini kan jamannya orang bersekolah. Masya Romo menega nelantarkan para putra ketinggalan jaman. Coba liat Kang Gareng yang nyaris buta huruf, ada KMD--koran masuk desa-- dia cuma dapet ngeliat gambarnya thok. Lulus B3B aja baru kemaren sore. Kasihan!
GARENG: Ngece-kere!
BAGONG: Bukannya ngece bin ngina, itu kenyataan! Orang lain sibuk nyalon kades dan nyari kerjaan nyang mbonapide en kualipeot, Kang Gareng kemana-mana bawa cangkul--kerja baaakti mulu!
GARENG: Lha wong aku kan abdi-negeri yang baik.
BAGONG: Iya kalo kerja baktimu sungguhan, wong Kang Gareng nyari makanannya thok.
Tak ampun lagi Gareng melayangkan tinjunya. Bagong mengduh-aduh.
SEMAR: Hehehe… malah ribut-gelut! Kerja bakti itu penting. Kita orang kecil yang hanya bisa nyangkul yang kerja baktilah dengan cangkul. Romo saja yang pak lurah tidak hanya sekedar perentah saja kok. Turun-tangan itu perlu! Apa dumeh pemimpin, kerjanya cuma ita-itu melulu! Ya--ndak!
GARENG: Nah! Mangkanya--tul, Mo!
SEMAR: Sana cari si Petruk!
BAGONG: Turun-tangan, Mooo!
Semar mesem.
GARENG: Wah--gak sanggup, Mo. Gemana nyarinya? Ke gunung takut linglung, ke kota takut sesat!
BAGONG: Kamfungan beratz sih! Saya sih ketimbang nyari Petruk yang gak tentu rimbanya, baikan nyari duit! PTS kan lagi panen besar. Saya bisa turut menuai.
GARENG: Gak bakal becus! Itu kan musim panennya para cendekiawan. Kamu es-em-a saja gak tamat-tamat.
BAGONG: Keliru! Yang punya panen emang cendekiawan, yang dipanen saku mahasiswa, yang kelabakan kena ani-ani ya orang tua! Dan yang menggali pondasi untuk kampus mewah tapi miring itu, ya, kita-kita ini.
GARENG: Weee udah banyak mesin. Mampu bersaing dengan mesin?
BAGONG: Apa boleh buat manusia produk abad teknologi harus mampu bersaing dengan mesin. Teknologi tidak hanya menciptakan robot, namun juga memperobot manusia. Semangkin menjadi robot, manusia semangkin terpakei dalem dunia teknologi. Daripada tangan-kosong otak-kopong! Ya--ndak?
Dalampada itu Begawan Dawala memasuki ambang pintu.
DAWALA: Sampurasun.
SEMAR: Rampes! O, Ki Dawala, silaken masuk.
DAWALA: Terima kasih, Kyai. Begini, Kyai. Saya turut prihatin melihat gejala baru yang menimpa masyarakat kita. Setelah masyarakat tebebas-lepas dari penyakit tiga buta; kini timbul polusi pelajar dan wabah intellectual deficiency. Menghadapi kondisi yang demikian adanya, apa yang seharusnya diperbuat, Kyai?
Kyai Semar terkejut-kalut. Menghadapi masalah semodel itu, dia tak dapat berbuat lain kecuali kembali kepada jati-dirinya.
SEMAR: Itu memang risiko. Kita tak bisa nyalahken siapa-siapa. Industri pendidikan terus berjalan tanpa dapat dihentikan. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan industri itu hanyalah bagaimana cara mengemudikannya. Akan dikendalikan ke mana industri pendidikan kita?
DAWALA: Justru itu yang mencemaskan, Kyai. Tripusat pendidikan goncang karena tak seimbang di sana-sini. Prof Dr Arjuna, Mendiknas Amarta, kewalahan mengatasi industri pendidikan formalnya. Gedung industri itu memang setinggi langit, tapi mutu hanya setinggi tumit; canggih di menara-gading, tapi loyo di lapangan; dan kesenjangan pun kian menjurang. Produk industri pendidikan makin terasing dari selera pasar. Biaya produksi lebih besar daripada harga jual produk-produknya, yang tak jarang sia-sia. Pada akhirnya industri itu sangat konsumtif terhadap bahan baku hanya untuk membuat kesia-siaan!
Gareng dan Bagong diam tak faham.
SEMAR: Lantas bagaimana maksud Ki Begawan?
DAWALA: Perlu diadakat deformasi!
Kyai Semar tercengang. Begawan yang satu ini memang multi-radikal!
SEMAR: Saya mafhum--Ki Begawan tidak mung waton omong, namun jangan menentang sistem!
DAWALA: Deformasi bukan menentang sistem. Deformasi adalah paradigma baru. Sudah saatnya Amarta mendirikan pendidikan massa. Dinamika sosial telah menampilkan masyarakat massa yang kian memperkokoh budaya-massa. Dalam kondisi demikian akan kian pesat tumbuh-kembangnya informasi-massa. Dalam pendidikan massa, peranan informasi-massa sangat mutlak sebagai mahaguru-massa.
GARENG (berbisik): Kamu ngerti, Gong?
BAGONG: Tidak!
SEMAR: Apa itu mumkin secara operasional?
DAWALA: Tentu! Tinggal menunggu tampilnya mahaguru-massa, yang mendidik massa dengan kecanggihan informasi-massa. Untuk itu media-massa pun tak akan lepas dari deformasi! Semakin kultural edukatif ia, semakin terpercaya untuk menjadi lidah mahaguru-massa. Suatu saat deformasi informasi akan mengubah dunia!
BAGONG: Semodel revolusi ya?
DAWALA: Deformasi bukan revolusi! Revolusi model apapun hanya menyajikan kepalsuan yang menipu. Revolution is just a mere culture of human-pigs! Revolusi hanyalah omong-kosong!
"O!"
SEMAR: Emh!--Lantas bagaimana ubarampe penyelenggaraan pendidikan-massa itu?
DAWALA: Pertama-tama, mengadakan deformasi informasi-massa dengan membentuk BSIM--badan sensor informasi-massa. Hitam-putihnya pendidikan-massa tergantung pada kecanggihan BSIM. Kemudian, perlu membentuk BPIM--badan pemandu informasi-massa. Pada badan inilah lalu-lintas informasi diatur mekanismenya; sehingga haluan pendidikan-massa dapat terarahkan sesuai tujuan. Nah!--hanya dengan pendidikan-massa semodel inilah polusi pelajar dengan segala eksesnya, dan penyakit intellectual deficiency dapat teratasi. Di samping itu, ia sangat menentukan eksistensi budaya-massa di masa depan.
SEMAR: Ya tergantung bagaimana praksisnya. Bukankah praktek tidak sesederhana teori? Sering kali "teori agung" berubah menjadi "keji" pada prakteknya. Sejarah telah banyak mencatat kejadian semodel itu. Dan tentunya Ki Begawan sendiri mafhum akan hal itu. Bagaimana dunia dibakar oleh Orang Konyol Uber Alles, puluhan juta manusia dibantai demi permainan human-pig, dan manusia pelan namun pasti dihadapkan pada The World Lost.
DAWALA: Benar, Kyai. Deformasi inilah yang mempunyai kekuatan maha-dahsyat untuk mencapai The World Regain. Pendidikan-massa akan membuktikan bahwa ilmu tidak terletak dalam kemewah-megahan gedung yang bermenara-gading, namun terletak pada kekuasaan informasi! Itulah sebabnya pendidikan-massa sangat mengedepankan deformasi informasi. Tanpa deformasi informasi, pendidikan tidak eksis!
Bagong bingung-linglung. Gareng ngorok.
SEMAR: Saya setuju! Pendidikan-massa lebih berorientasi pada kepentingan umum; bukan untuk membentuk sikap intelektual yang sok elit. Sungguh suatu cita-mulia! Semoga kelak akan lahir cendekiawan-massa. Dan mau tak mau, elit-intelektual akan tergusur bersama zaman. Hal ini akan terjadi dengan sendirinya; bukan karena paksaan seperti tergusurnya kaum marginal di daerah slums. Pelajar marginal pun tak perlu jadi polusi. Bahkan, Ekalaya, Socrates, Ivan Illich, dan yang se-archetype dengannya go ahead!
DAWALA: Benar, Kyai. Sokalima sebagai kota megapolitan pendidikan tak becus apa-apa! Apa artinya intelektual jika hanya sekedar silent intellectuals? Untuk apa memperlangit menara-gading yang makin miring? Tiadalah punya arti, intelektual yang hanya eksis bagi dirinya sendiri! Intelektual an sich hanyalah tai kucing! All we need now are intellectual being-for-others: mass-intellectuals.
Kyai Semar tersenyum mafhum. Keberadaan Begawan Dawala di desanya bagai purnama di malam buta. Kyai Semar, sebagai orang bawah yang terpercaya di Amarta, segera melaporkan kehendak Begawan Dawala kepada Mendiknas Amarta--Prof Dr Arjuna. Mulanya, pendidikan-massa dianggap sebagai sistem pendidikan yang non-sense! Namun Prof Dr Nakula, Menpen Amarta, beranggapan lain. Pendidikan-massa adalah sistem pendidikan yang canggih, yang di dalamnya, penerangan menjadi lebih eksis. Menurut Menpen Nakula, pendidikan-massa mampu juga menyembuhkan budaya squealer dalam penerangan. Demi kepentingan ini, Menpen Nakula bersedia menerima pendidikan-massa. Bahkan meskipun Prof Dr Arjuna tetap tidak setuju karena terlalu fanatik dengan sistem pendidikan versi Sokalima, Prof Dr Nakula akan memasukkan pendidikan-massa ke dalam departemennya. Akhirnya, setelah faham benar Prof Dr Arjuna pun setuju-mantap.
Terberitakanlah pendidikan-massa berdiri di negara Amarta. Akibatnya astaga-luar-biasa! Rakyat Amarta jadi jauh lebih pintar dan terpelajar dibanding dengan negara manapun. Negara Astina yang bangga memiliki kota megapolitan pendidikan Sokalima menjadi terbelakang bukan karena kebodohan, namun karena serba ketinggalan dalam mengikuti perkembangan pendidikan-masa di Amarta.
Ternyata BSIM dapat menjadi katup tanas negara Amarta. BSIM memperkokoh kekuatan hankam dan Jendral Bima, Menhankam Amarta, turut mengalokasikan dana persenjataanya buat dana informasi demi pendidikan-massa. Di lain segi. BPIM mampu membuat informasi-massa menjadi komoditas ekspor dalam lalu-lintas informasi-massa internasional. Menristek Amarta, Prof Dr Ir Sadewa terkagum-kagum melihat kecanggihan teknologi informasi BPIM yang bukan hanya mampu mendeteksi informasi dari dan ke seluruh penjuru dunia, namun juga seluruh penjuru semesta. Pangab Jendral Gatotkaca gembira terhadap keberadaan BPIM, yang ternyata memiliki kehebatan spyforce yang jauh lebih canggih daripada agen-rahasia mana pun. Amarta tidak perlu lagi menyelundupkan James Bond-James Bond-nya yang sok nyewek melulu dalam operasi-operasinya.
Begawan Dawala tersenyum bijak. Dia tegas-tandas menolak ketika rektor Universitas Sokalima Prof Dr Durna mengundangnya untuk memberi gelar Doctor Honoris Causa buat Begawan Dawala. Sikap itu dianggap penghinaan besar buat Astina. Lebih-lebih ketika First Lady Astina, Ny. Banowati PhD, mendesak Presiden Duryudana untuk melakukan perestroika total nagi Negara "Tirai" Astina. Karena tidak digubris, Banowati yang doktor filsafat itu melarikan diri dan menghadap Begawan Dawala. Menimba ilmu.
Ketika Banowati mempertanyakan apakah Begawan Dawala itu ada, dengan tenang Begawan Dawala berkata, "I deform, therefore I exist!"
DAWALA: Pertama-tama, mengadakan deformasi informasi-massa dengan membentuk BSIM--badan sensor informasi-massa. Hitam-putihnya pendidikan-massa tergantung pada kecanggihan BSIM. Kemudian, perlu membentuk BPIM--badan pemandu informasi-massa. Pada badan inilah lalu-lintas informasi diatur mekanismenya; sehingga haluan pendidikan-massa dapat terarahkan sesuai tujuan. Nah!--hanya dengan pendidikan-massa semodel inilah polusi pelajar dengan segala eksesnya, dan penyakit intellectual deficiency dapat teratasi. Di samping itu, ia sangat menentukan eksistensi budaya-massa di masa depan.
SEMAR: Ya tergantung bagaimana praksisnya. Bukankah praktek tidak sesederhana teori? Sering kali "teori agung" berubah menjadi "keji" pada prakteknya. Sejarah telah banyak mencatat kejadian semodel itu. Dan tentunya Ki Begawan sendiri mafhum akan hal itu. Bagaimana dunia dibakar oleh Orang Konyol Uber Alles, puluhan juta manusia dibantai demi permainan human-pig, dan manusia pelan namun pasti dihadapkan pada The World Lost.
DAWALA: Benar, Kyai. Deformasi inilah yang mempunyai kekuatan maha-dahsyat untuk mencapai The World Regain. Pendidikan-massa akan membuktikan bahwa ilmu tidak terletak dalam kemewah-megahan gedung yang bermenara-gading, namun terletak pada kekuasaan informasi! Itulah sebabnya pendidikan-massa sangat mengedepankan deformasi informasi. Tanpa deformasi informasi, pendidikan tidak eksis!
Bagong bingung-linglung. Gareng ngorok.
SEMAR: Saya setuju! Pendidikan-massa lebih berorientasi pada kepentingan umum; bukan untuk membentuk sikap intelektual yang sok elit. Sungguh suatu cita-mulia! Semoga kelak akan lahir cendekiawan-massa. Dan mau tak mau, elit-intelektual akan tergusur bersama zaman. Hal ini akan terjadi dengan sendirinya; bukan karena paksaan seperti tergusurnya kaum marginal di daerah slums. Pelajar marginal pun tak perlu jadi polusi. Bahkan, Ekalaya, Socrates, Ivan Illich, dan yang se-archetype dengannya go ahead!
DAWALA: Benar, Kyai. Sokalima sebagai kota megapolitan pendidikan tak becus apa-apa! Apa artinya intelektual jika hanya sekedar silent intellectuals? Untuk apa memperlangit menara-gading yang makin miring? Tiadalah punya arti, intelektual yang hanya eksis bagi dirinya sendiri! Intelektual an sich hanyalah tai kucing! All we need now are intellectual being-for-others: mass-intellectuals.
Kyai Semar tersenyum mafhum. Keberadaan Begawan Dawala di desanya bagai purnama di malam buta. Kyai Semar, sebagai orang bawah yang terpercaya di Amarta, segera melaporkan kehendak Begawan Dawala kepada Mendiknas Amarta--Prof Dr Arjuna. Mulanya, pendidikan-massa dianggap sebagai sistem pendidikan yang non-sense! Namun Prof Dr Nakula, Menpen Amarta, beranggapan lain. Pendidikan-massa adalah sistem pendidikan yang canggih, yang di dalamnya, penerangan menjadi lebih eksis. Menurut Menpen Nakula, pendidikan-massa mampu juga menyembuhkan budaya squealer dalam penerangan. Demi kepentingan ini, Menpen Nakula bersedia menerima pendidikan-massa. Bahkan meskipun Prof Dr Arjuna tetap tidak setuju karena terlalu fanatik dengan sistem pendidikan versi Sokalima, Prof Dr Nakula akan memasukkan pendidikan-massa ke dalam departemennya. Akhirnya, setelah faham benar Prof Dr Arjuna pun setuju-mantap.
Terberitakanlah pendidikan-massa berdiri di negara Amarta. Akibatnya astaga-luar-biasa! Rakyat Amarta jadi jauh lebih pintar dan terpelajar dibanding dengan negara manapun. Negara Astina yang bangga memiliki kota megapolitan pendidikan Sokalima menjadi terbelakang bukan karena kebodohan, namun karena serba ketinggalan dalam mengikuti perkembangan pendidikan-masa di Amarta.
Ternyata BSIM dapat menjadi katup tanas negara Amarta. BSIM memperkokoh kekuatan hankam dan Jendral Bima, Menhankam Amarta, turut mengalokasikan dana persenjataanya buat dana informasi demi pendidikan-massa. Di lain segi. BPIM mampu membuat informasi-massa menjadi komoditas ekspor dalam lalu-lintas informasi-massa internasional. Menristek Amarta, Prof Dr Ir Sadewa terkagum-kagum melihat kecanggihan teknologi informasi BPIM yang bukan hanya mampu mendeteksi informasi dari dan ke seluruh penjuru dunia, namun juga seluruh penjuru semesta. Pangab Jendral Gatotkaca gembira terhadap keberadaan BPIM, yang ternyata memiliki kehebatan spyforce yang jauh lebih canggih daripada agen-rahasia mana pun. Amarta tidak perlu lagi menyelundupkan James Bond-James Bond-nya yang sok nyewek melulu dalam operasi-operasinya.
Begawan Dawala tersenyum bijak. Dia tegas-tandas menolak ketika rektor Universitas Sokalima Prof Dr Durna mengundangnya untuk memberi gelar Doctor Honoris Causa buat Begawan Dawala. Sikap itu dianggap penghinaan besar buat Astina. Lebih-lebih ketika First Lady Astina, Ny. Banowati PhD, mendesak Presiden Duryudana untuk melakukan perestroika total nagi Negara "Tirai" Astina. Karena tidak digubris, Banowati yang doktor filsafat itu melarikan diri dan menghadap Begawan Dawala. Menimba ilmu.
Ketika Banowati mempertanyakan apakah Begawan Dawala itu ada, dengan tenang Begawan Dawala berkata, "I deform, therefore I exist!"
Ki Harsono Siswocarito
Semarang, 3 November 1988
Semarang, 3 November 1988
No comments:
Post a Comment