Berbudi bawa laksana
Dene utamaning praja
Adilmakmur paramarta
ATASANGIN.—Bersama Dekan FISIP Prof Dr Kumbayana, Dr Sucitra menghadap Rektor Universitas Atasangin Prof Dr Baratwaja.
BARATWAJA: Sungguh terkejut saya membaca surat permohonan sodara untuk mengundurkan diri sebagai akademisi. Kenapa, Dr Sucitra?
SUCITRA: Saya mau alih profesi.
BARATWAJA: Profesi apa?
SUCITRA: Politisi!
KUMBAYANA: Jadi politikus? Nah, hahaha… hebat! Utopia luar biasa! Tapi, apa sudah anda pikirkan betul? Memang anda teoretisi ilmu sosial politik, tapi bukan praktisi. Bisa apa?
SUCITRA: Justru itu! Saya mau berpolitik praktis. Dalam dunia akademisi tak ada peluang untuk jadi politisi. Saya butuh kebebasan berpolitik, bukan cuma kebebasan mimbar!
BARATWAJA: Apa ada?
SUCITRA: Ada di luar negeri! Saya mau beremigrasi ke negara pengusung demokrasi.
BARATWAJA: Atasangin juga negara demokrasi. Mau ke mana lagi sodara hendak mencari demokrasi?
SUCITRA: Hmh! Demokrasi Atasangin semu-feodal! Saya mau ke Pancala. Di sana lagi suksesi. Presiden Pancala Jendral Gandabayu hendak melakukan suksesi demokratis.
KUMBAYANA: Apa itu?
SUCITRA: Siapapun bisa jadi presiden Pancala, tentu saja jika punya power mampu menandingi Jendral Gandamana.
KUMBAYANA: Nah, hahaha… power apa andalan anda? Power Wagon, Power Metal, Power Slave? Nah, hahaha… apa coba? Teori? Gombal! Teori handal macam apapun hanya ada dalam wacana, dan semua wacana terpisah dari realita. Lebih radikal, tiada makna di luar wacana! Nah, Citra gak usah mimpi! Realistislah! Mencerdaskan kehidupan bangsa lebih mulia daripada utopia. Nah, hahaha.…
SUCITRA: Maaf, Prof Yan! Saya segan dan enggan berdebat dengan anda. Acuan teori kita beda. Saya sependapat dengan Michel Foucault! Wacana dan kuasa tidak terpisah dari realita. Ini perlu bukti! Prof Dr Baratwaja—saya mohon pamit!
BARATWAJA: Baik, selamat jalan!
SUCITRA: Permisi, Prof Yan.
KUMBAYANA: Mari-mari, semoga sukses! Jika berhasil, nanti kuikuti jejakmu. Nah, hahaha… good bye!
SUCITRA: G’bye!
Segera Sucitra
Menuju Pancala
Sayembara Pancala
Melawan Gandamana
PANCALA.—Presiden Gandabayu memanggil Menhankam Jendral Gandamana demi membahas perihal suksesi.
GANDABAYU: Bagaimana, Jendral Gandamana? Masih belum ada yang mampu menandingimu?
GANDAMANA: Belum, Pak! Tapi ini ada peserta baru. Dr Sucitra dari Atasangin, pakar besar ilmu sosial politik, dan … bujangan! Huahaha… silakan maju, Dr Sucitra.
SUCITRA: Terimakasih!
GANDABAYU: Sudah tahu aturan sayembara ini? Air-war, duel udara! Jika mampu menandingi kepiawaian tempur-udara Jendral Gandamana, sodara berhak diangkat jadi presiden Pancala dan berhak memperistri putriku Dewi Gandawati.
SUCITRA: Hah?
GANDAMANA: Huahahaha… usah kaget! Masa mau adutinju? Kuno! Mari adulaga di angkasa! Kau boleh pilih pesawat tempur yang kau suka.
SUCITRA: Mati aku! Baiklah, saya coba.
GANDAMANA: Silakan!
Tandang gonera
Sang Gandamana
Seluruh warga
Menonton laga
PALAGAN.—Jendral Gandamana melangkah gagah ke arah pesawat tempur supermewah. Dr Sucitra ragu! Sayembara ini tak terkira olehnya. Benaknya cuma terisi teori politik, tak kenal strategi tempur. Mau mundur, malu! Daripada mundur, lebih baik tempur.
“Ayo, Sucitra!”
“Siap!” Blaas!
Pesat-kebat
“Hidup, Jendral Ganda!” “Hidup! Hidup!” (Prok! Prok! Prok! Suit-suit!) “Wah, nekad!” (Teet!) “Trompetnya, Mas—budeg nih!” (Toeet!) “Diancuk!” (Buk!) “Adoow!” (Bruk!) “Rasain lo!”
“Sst! Brisik!”
“Caaang-kacaaang! Kacang, Om?” “Gak!” “Rokok, tisu, Getsbi!” “Gak!” (Jdak!) “Aduh, asu! Gak beli, ninju!” “Hahaha…!”
(Duut!) “Kentut lagi lo!” (Hfuh!) “Dasar!”
“Diem! Ribut mulu! Eh, taruhan yo?”
“Oke, gue jagoin Om Ganda!” (Cplek!) “Siplah! Gue, Om Goen!” “Lho!” “Heheheh…!”
(Zoss!) “Luput” (Blar!)
(Plas!) “Kena!” (Glar!)
Sucitra hancur
“Mampus ya dia?”
“Entah la ya!”
Jago sayembara
Ganti peristiwa
Tanda gara-gara
KARANG KABOLOTAN.—Dingin angin sepoi di tebing bukit. Pucuk gunung tertutup kabut. Dari sebuah gubuk ilalang mengumandang dendangria. Tembang pelipur bimbang! Panakawan pada bercandaria.
Wayang mana, wayang mana?
Wayang eta nu pang jagona
Hayang mana, hayang mana?
Hayang eta nu pang gedena
“Ehm, brr… dingin! Berburu ame Pak Pandu, sial gue! Ia dapetnya gede terus; gue, kecil mulu.”
“Iye aje, Truk! Dia pake bedil, lo pake ketapel. Beda!”
“Ahihi… tradisionil!”
“Mana mampu menyamai Pak Pandu: perangkat modern! Alat lebih dari bakat. Biar bakat hebat, tanpa alat temtu lambat. Biasa serba santai, ya nerimo. Budaya statis mau melawan budaya dinamis. Mana bisa?”
“Iya-iya! Romo mana?”
“Sama Pak Pandu!”
“Ke sana, yo?”
SEMAR: Mari, Pak!—Ayo, Le!
“Asiiik!” “Sip, Mo!”
Merambah hutan
Halang terjang
Perang kembang
ALASAMAR.—Pandu Dewanata berperang. Rintang-halang ia terjang. Para penyerang lintangpukang. Tungganglanggang!
“Bah, keparat! H-hadapi a-aku Gendir Penjalin!”
“O, Cakil—hajar, Gong!”
(Pletak!) “Aduh!” (Cpret!) “Rasain!” (Bletak!) “Wadow! M-mati a-k-u….” (Bluk!)
“Hehe… segitu doang! Lagi nih!” (Cpret! Thaak!) “Waaw… ketapel lo kena gue nih,
Gong! Ngawur lo!” “Hehe…!”
“Babo-babo! Pragalba, Rambutgeni, Padasgempal, Jurang-rawah, Buta Terong, Galiuk—serbu!" (Jlap! Jlap! Jlap! Jlap!)
(Plas!) “Makan tu bom!”
(BLAARR!)
Pada fana
Tampaklah orang
Melayang-layang
“Eh, lihat, Truk! Tuh!”
“Hah? Parasut jatuh!”
Berlarian
PANDU: Anda siapa?
SUCITRA: Saya Sucitra. Haduh… untung saya selamat! O ya, anda siapa?
PANDU: Saya Pandu dan ini Ki Semar. Kenapa anda bisa jatuh di sini?
SUCITRA: Yeah… saya kalah sayembara. Sialdangkal! Saya tak mampu menandingi kepiawaian air-war Jendral Gandamana dari Pancala. Ia luarbiasa!
PANDU: O, memang! Apalagi jika ia memakai jet tempur Wungkalbener, ia tak tertandingi. Itulah kekuatan Pancala! Namun jika anda mau, saya bersedia membantu.
SUCITRA: Hah? Tapi—?
SEMAR: Em, hahahah… tak usah samar, Pak Citra! Jendral Pandu Dewanata ini Presiden Astina. Beliau ahli polemologi, pakarakbar budaya tempur.
SUCITRA: O, baiklah!
PANDU: Tandingan jet tempur Wungkalbener itu cuma jet tempur Narantaka. Ini logika perwira. Namun keperwiraan perlu disertai kecendekiaan. Tempur bukan cuma adukeras, namun juga aducerdas. Modernitas Pancala cuma bisa diatasi dengan posmodernitas. Ingat Powershift Toffler, dan War and Anti-War bisa diacu.
SUCITRA: Wah, kawiryan tidak terlepas dari kawinasisan. Terlalu lelap saya tertidur di menaragading politik. Terlena dari realita, hidup dalam utopia. Adalah sebuah anugerah, saya bisa bersua Jendral Pandu Dewanata.
PANDU: Bawa jet Narantaka. Semoga sukses! Berangkatlah!
SUCITRA: Terimakasih!
Pesat Narantaka
Melesat angkasa
Kali ini Sucitra
Digdaya di udara
PANCALA.—Dr Sucitra menang! Seusai sayembara ia di-anugerahi pangkat Jendral, menikah dengan Dewi Gandawati, dan dilantik menjadi presiden Pancala. Kini ia bernama Jendral Drupada. Dan dalam pemerintahannya, ia menyetujui Jendral Gandamana diangkat menjadi Wapres.
Petik kembang sinebaran
Tutup lawang singgotaka
Semarang, 4 Pebruari 1994 Ki Harsono Siswocarito